Chapter 172: Kota Gunung Agung
Chapter 172: Kota Gunung Agung
Awalnya, bos preman ini masih bersikap sok tangguh meskipun hidungnya sudah patah. Dia menolak untuk berbicara pada Randika. Tetapi seiring berjalannya waktu, siksaan Randika membuat dia akhirnya menyerah.
"Aku lebih baik mati daripada memberitahumu!"
Semenit kemudian. "Wanita itu sudah menerima bibitku dan mengandung anakku! Jangan harap dia masih perawan! Hahaha."
Tiga menit kemudian. "Tidak! Hentikan, aku sudah tidak kuat."
Lima menit kemudian. "Maafkan aku, aku sama sekali tidak bermaksud. Jangan! Tolong jangan pukul aku lagi!"
Enam menit kemudian bos preman ini sudah sekarat dan Randika mendapatkan apa yang dia mau. Bos preman ini tidak menyentuh Christina sama sekali karena dia terus memberontak sampai-sampai menendang si bos ini di kemaluannya. Di tengah kemarahannya, si bos ini menghajarnya sampai pingsan dan menjualnya ke temannya yang melakukan bisnis perdagangan manusia.
Sekarang temannya itu seharusnya sedang mencari pelanggan yang mau membeli Christina.
Setelah mendengar tempat teman si bos preman itu berada, hati Randika sedikit mengepal.
Desa Sukasari di Kota Gunung Agung!
Ternyata Christina sampai dibawa ke desa terpencil di kota sebelah, benar-benar tempat yang cocok untuk melakukan bisnis haram dan gelap seperti perdagangan manusia. Yang membuatnya mengerutkan dahi adalah tidak ada jalan tol ataupun bandara di kota tersebut. Satu-satunya jalan adalah menaiki kereta ke kota Gunung Agung lalu berjalan kaki ke desa Sukasari.
Setelah mendapatkan informasi tersebut, Randika melihat jam dan menyadari bahwa kereta yang akan membawanya itu akan pergi sebentar lagi.
Deviana ingin ikut tetapi dicegah oleh Randika.
"Kamu lebih baik tinggal di sini dan menangkap orang-orang ini. Aku akan mengurus sisanya." Kata Randika.
"Kalau begitu berhati-hatilah." Deviana sendiri aslinya tidak tahu kenapa dirinya ingin bersama Randika, tetapi setelah mendengar kata-kata Randika, dia sadar bahwa kata-katanya itu masuk akal.
Ketika Randika sudah pergi, Deviana mengeluarkan HT-nya dan melapor sekaligus meminta bantuan markasnya untuk mengirim beberapa mobil agar ke-20an orang ini bisa segera mendekam di penjara untuk waktu yang lama.
......
Di dalam kereta, Randika duduk sendirian di dekat jendela. Meskipun pandangan matanya melihat pemandangan, isi pikirannya benar-benar hanya ada Christina. Dia berharap bahwa dirinya masih dapat menyelamatkan tepat waktu.
"Ah? Kenapa pong? Tumben sekali telepon aku?"
Namun pada saat ini, seorang pria yang duduk tidak jauh dari Randika tiba-tiba mengangkat teleponnya. Suaranya benar-benar keras! Ketika pria itu membuka mulutnya, seluruh gerbong bisa mendengar apa yang dia katakan.
Randika mengerutkan dahinya, pria itu sama sekali tidak mempunyai sopan santun.
"Kau ingin mengajakku cangkruk? Pasti ada maunya nih bukan? Sudah cepat katakan saja tidak usah sungkan."
Orang-orang yang ada di gerbong ini mulai kesal tetapi mereka sama sekali tidak menegur orang itu. Mereka berharap telepon itu segera cepat selesai.
"Mau mengambil uangmu? Pong, kamu sendiri tahu aku habis kena musibah apa." Pria itu benar-benar tidak peduli dengan orang lain, suaranya yang keras itu benar-benar membuat orang jengkel.
"Jangan gitu dong Pong, kita kan sudah berteman lama. Kamu tahu sendiri aku minjam uangmu untuk apa, pasti akan kubayar kok. Hanya saja uangku dari pekerjaanku itu belum cukup untuk membayarmu."
Beberapa orang sudah mulai mengeluarkan earphone mereka dan mengeraskan volume lagu mereka. Mendengar jilatan seorang yang sering berhutang bukanlah topik yang enak didengar. Sedangkan untuk seorang ibu yang baru saja menidurkan bayinya, dia harus kembali menenangkan bayinya yang tiba-tiba menangis.
"Sudah percaya aku, bulan depan aku balikan semua oke? Bulan depan uangku akan cair jadi sabar saja."
"Kalau begitu bagaimana kamu ke rumahku bulan depan? Kita akan makan sambil minum-minum dan bernostalgia tentang masa lalu!" Suara pria ini makin lama makin keras, tetapi mendengar percakapannya ini orang-orang merasa sedikit lega. Akhirnya telepon pria itu akan selesai, pikir mereka.
Tetapi nampaknya harapan mereka itu sia-sia. "Omong-omong kenapa kau tiba-tiba nagih? Apa kamu sedang dalam masalah?"
Sepertinya percakapan mereka masih lama.
Seorang pria sudah tidak tahan dan menegurnya. "Suaranya bisa kecil sedikit tidak pas telepon?"
Pria yang sedang telepon itu mengerutkan dahinya dan berkata pada pria itu. "Suka-sukaku kan untuk berbicara? Toh tidak ada larangan menerima telepon dan salah sendiri dengerin teleponnya orang."
Semua orang yang mendengar alasan tersebut menjadi kesal. Apa orang ini melakukannya dengan sengaja?
"Suaramu itu benar-benar keras, lihat sampai bayi yang tertidur saja sampai bangun. Kau ini tidak punya sopan santun ya?" Pria yang menegur itu tidak mau mundur.
"Oh? Kalau begitu kenapa mereka tidak komplain? Sopan santun? Aku kasih tahu ya, bertelepon adalah hakku dan tidak ada yang bisa melarangku melakukannya. Aku tidak peduli kamu merasa terganggu, kalau kau merasa terganggu tuntut saja aku." Pria yang sedang bertelepon itu mendengus dingin.
Ibu yang membawa bayinya itu sudah tidak tahan. Dia berdiri dan pindah ke gerbong lain.
"Memang itu hakmu, tetapi suaramu itu sangat keras." Kali ini seorang perempuan juga ikut memarahinya.
"Kalau begitu jangan dengarkan toh, gampang bukan? Gitu aja kok susah." Pria itu menatap perempuan tersebut dan kembali berbicara dengan temannya. Sepertinya topik mereka berubah jadi tentang sepakbola.
"Suaramu kayak hentakan kaki gajah gitu, mana mungkin kita bisa pura-pura tidak mendengarnya?"
"Kalau begitu jangan salahkan aku, salahkan telingamu." Jawab pria itu.
Perempuan itu hendak menampar pria tidak sopan itu, sepertinya kata-kata saja tidak cukup.
Tetapi temannya di sampingnya menahannya. "Sudah cuekin saja, percuma berdebat dengan orang keras kepala."
Namun tiba-tiba pria tersebut menutup teleponnya. Dia lalu berdiri dan menatap orang-orang yang sepertinya membenci dirinya.
"Kalian ini ya benar-benar tidak tahu diri. Apa salahnya aku mengangkat telepon? Apa salahnya berbicara dengan suara keras? Jika aku ingin berbicara keras maka itu adalah hakku."
Bersamaan dengan itu, pria tersebut mengeluarkan handphonenya dan hendak menelepon lagi.
"Jika kau masih ribut, aku akan membenamkan kepalamu di toilet."
Suara tersebut berhasil membuat semua orang menjadi terdiam.
Saat pria tersebut menoleh, ternyata Randika sedang menatapnya dengan tatapan dingin.
"Kau kira aku takut?" Pria itu berdecak. "Kau tidak bisa memaksaku untuk diam."
Kemudian teleponnya itu terangkat dan pria itu berkata dengan keras. "Halo? Ini ."
Semua orang sudah muak dengan perilaku pria bajingan itu, tetapi pada saat ini, suara pria tersebut hanya sampai salam pembuka, tidak ada kelanjutannya.
Ketika mereka menoleh ke arah pria tersebut, mereka semua melihat seorang pemuda sudah melempar handphone orang tersebut ke tengah-tengah gerbong.
Orang tersebut terkejut sekaligus menjadi marah. "Kurang ajar!"
Randika lalu menahan pukulan lemah itu dengan satu tangan. Randika lalu memelintir tangan pria tersebut dan dia langsung merintih kesakitan.
Tapi orang itu masih tidak menyerah, tangan satunya langsung melayangkan pukulan. Namun usahanya benar-benar sia-sia, Randika berhasil menangkapnya dan melintir kedua tangannya.
"Aku akan melaporkanmu kalau kau tidak melepaskanku." Pria itu masih tidak menyerah.
Randika sudah malas berurusan dan melepaskannya. Ketika pria itu hendak berdiri, Randika menjambaknya dan menghantamkan kepalanya ke kursi!
Kursi dari kereta ini terbuat dari besi jadi bisa dikatakan kursi ini keras. Ditambah lagi, suasana hati Randika sedang buruk karena khawatir dengan Christina jadi dia kurang bisa mengontrol tenaganya. Jadi gigi dan hidung orang tersebut menjadi berantakan.
Semua orang terkejut, mereka tidak menyangka Randika akan berbuat sejauh itu.
"Satu suara lagi darimu dan kepalamu akan tenggelam di toilet kereta ini."
Pria itu sudah ketakutan bukan main, hidungnya terus mengucurkan darah. Dia menatap Randika yang wajahnya dingin tersebut, rasa takut sekaligus benci menjadi satu.
Dia membuka mulutnya dan hendak mengatakan sesuatu tetapi orang tersebut langsung menutup mulutnya. Dia hanya berdiri dan berjalan menuju kursinya dalam keadaan diam.
Melihat orang itu sudah tidak berisik lagi, Randika kembali sibuk memikirkan Christina.
Dia berharap temannya itu tidak apa-apa.
Setelah 5 jam menunggu di kereta, akhirnya Randika tiba di kota Gunung Agung.
Setelah turun dari kereta, angin dingin langsung menerpa dirinya. Randika lalu bertanya dengan orang lokal dan mengetahui bahwa perjalanannya masih jauh. Desa Sukasari masih berada di pedalaman gunung, jika tidak ada transportasi maka Randika harus berjalan sekitar 2 jam dari tempatnya ini.
Randika mengerutkan dahinya, dia tidak punya waktu selama itu. Dia memperhatikan sekitarnya dan menyadari ada toko sepeda motor.
Namun, toko ini sepertinya toko bobrok. Sebagian besar motor adalah motor bekas dan tertutup debu. Orang yang seperti pemiliknya itu sedang memperbaiki sepeda motor di samping toko.
"Ada motor bagus?" Tanya Randika.
Pemilik toko itu mengangkat kepalanya dan menjawab. "Silahkan pilih bos, semuanya bagus-bagus kok."
Melihat semua sepeda motor yang menyedihkan ini, Randika kehabisan kata-kata. "Apa tidak ada motor yang bagusan sedikit dan lebih cepat?"
Kali ini pemilik toko mengajak Randika ke dalam dan menunjukan sebuah motor.
"Bagaimana kalau ini? Motor ini baru selesai diperbaiki kemarin." Kata si pemilik toko.
Randika lalu memerhatikan sepeda motor itu. Meskipun ada beberapa bagian terlihat karatan, sepertinya motor ini paling oke daripada motor-motor lainnya.
"Tolong siapkan motor ini untukku." Kata Randika.
Pemilik toko itu tersenyum. "Baiklah."
Pada saat ini, di kota Gunung Agung sedang ada perlombaan lintas alam untuk sepeda motor.
Kota Gunung Agung memang terkenal dengan jalanannya yang curam dan menanjak, cocok sebagai tempat untuk perlombaan ini. Kota ini bergantung pada event-event seperti ini.