Chapter 203: Perang Internal
Chapter 203: Perang Internal
Auron, yang memegangi dadanya, merasakan terror yang belum pernah dia rasakan.
Apakah ini kekuatan asli dari Ares?
Sesaat setelah itu, tubuhnya kesakitan dan tangannya yang memegang pedang kehilangan kekuatannya.
Melihat Randika yang berdiri tegak di hadapannya, Auron perlahan jatuh sambil terus memegangi dadanya. Rasa sakitnya sudah mengambil alih tubuhnya dan dia sudah tidak sadarkan diri.
Empat dari lima orang sudah kalah, satu mati, dua pingsan, satu sudah tidak punya keberanian lagi. Sekarang sisanya adalah Lupin si werewolf.
Lupin, dengan mata buasnya, tidak peduli dengan kondisi keempat temannya itu. Dia meraung keras dan menerjang ke arah Randika.
Detik berikutnya, Lupin sudah melompat tinggi, tangannya sudah membentuk kepalan tinju dan kakinya yang menendang langit-langit itu membuat kecepatan jatuhnya berlipat ganda.
Namun, di detik saat dia mendarat, nama Lupin si werewolf sudah tinggal kenangan.
Adam yang bersembunyi di tengah-tengah lautan manusia menatap Randika dengan tatapan penuh terror dan ketakutan. Orang itu adalah Dewa, Dewa Perang yang tidak terkalahkan! Dialah Ares sang penguasa dunia bawah tanah!
Randika menatap lawan-lawannya itu dengan tatapan dingin. Pada saat yang sama, ekspresi wajahnya berubah dan tanpa ragu-ragu, dia langsung berlari menuju pintu keluar.
Orang-orang hanya merasakan hembusan angin yang kuat dan pintu yang terbuka secara tiba-tiba. Sosok Randika yang berdiri itu juga tiba-tiba menghilang.
Sekarang di Azumi bar hanya ada sisa-sisa dari kekacauan. Dua orang mati, dua orang pingsan dan satu orang sudah tidak berani mempertaruhkan nyawanya untuk menghalangi Randika.
Musik masih terus diputar tetapi orang-orang masih belum pulih dari syok mereka.
Ares benar-benar luar biasa.
Semua orang yang hadir di bar ini akan mengingat-ingat kejadian ini untuk waktu yang lama.
Pada saat ini, kecepatan Randika sudah mencapai puncaknya dan tiba-tiba keringat dingin mulai mengucur deras di dahinya. Setelah melawan kelima pendekar elit tersebut, sekarang giliran kekuatan misteriusnya untuk menyerang. Kekuatan misteriusnya itu sudah siap menyerap kapan saja dan berniat untuk mengambil alih tubuh Randika.
DUAR!
Randika menggertakan giginya dan berjalan dengan susah payah di jalan. Semua pejalan kaki di Tokyo ini penasaran dengan orang yang berjalan dengan wajah pucat sambil memegangi perutnya itu.
Randika sebenarnya tidak ingin menggunakan tenaga dalamnya sebanyak itu di pertarungannya di Azumi bar, tetapi kalau tidak mengatasi kelima pendekar itu dengan cepat, bisa-bisa nyawanya akan terancam. Namun, sekarang justru kekuatan misteriusnya lah yang mengancam nyawanya.
Pada saat ini, rasa sakit menyebar secara rata di seluruh tubuhnya. Sepertinya kekuatan misterius ini sedang melakukan uji coba. Jika Randika tidak merespon, ia akan melahap Randika hidup-hidup dan mengambil alih tubuhnya!
Randika berusaha sekuat tenaga menahan kekuatan di dalam tubuhnya. Tetapi dengan tenaga dalam yang terbatas, dia tidak bisa mengontrol seluruhnya dengan baik. Hanya masalah waktu sebelum akhirnya Randika akan kalah.
Dengan tangan yang bergetar hebat, dia mengambil botol berisikan obat yang diberikan kakek ketiga dan dengan cepat meminumnya.
Sebenarnya, kakek ketiganya menyuruh dirinya meminum obatnya setiap 15 hari sekali, hal ini bisa memaksimalkan efeknya. Jika Randika meminumnya terlalu banyak dalam waktu singkat, tubuhnya akan menumbuhkan imun dan efeknya akan berkurang drastis.
Tetapi Randika tidak punya pilihan lain. Jika dia tidak meminum obat ini, dia akan kehilangan kendali.
Setelah meminum sebutir, Randika menghembuskan napas lega. Dia merasa bahwa tubuhnya lebih baikan, setidaknya dia bisa mengontrol tenaga dalamnya. Namun, sepertinya dia tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya sebanyak di Azumi bar sebelumnya. Kalau tidak, bisa-bisa dia akan tamat.
Tiba-tiba, kekuatan misteriusnya itu bergejolak kembali seperti tidak ingin menyerah begitu saja. Dalam sekejap tubuh Randika sudah berkeringat deras.
Melangkah dengan susah payah, Randika secara acak memilik rumah dan langsung membuka pintunya.
Setelah masuk ke dalam rumah, Randika sudah basah oleh keringat. Kekuatan misteriusnya sedang berperang dengan tenaga dalamnya serta dirinya. Sepertinya kekuatan misteriusnya menemukan bahwa ini kesempatan terbaik untuk menyerang Randika.
Tubuhnya tidak bisa berhenti bergetar. Pandangannya sudah lumayan kabur dan hampir tidak bisa melihat. Berpegangan erat di tangga, Randika naik ke lantai dua. Ketika dia menemukan kasur untuk berbaring, dia nyaris terjatuh dan pingsan di lantai.
Tidak akan kubiarkan!
Dengan dahi yang penuh keringat, Randika duduk di pojokan sambil terus gemetaran.
Sambil menutup matanya, Randika merasa tiap detik adalah siksaan. Dia menggertakan giginya dan terus menutup matanya. Tetes demi tetes keringat terus keluar dari seluruh tubuhnya. Tidak butuh waktu lama untuk keringatnya itu menjadi genangan air di lantai.
Setelah beberapa waktu yang tidak dapat ditentukan, Randika merasa baikan tetapi benar-benar sedikit. Pada saat ini, pintu di lantai satu terbuka.
Seorang perempuan yang sepertinya masuk sambil menelepon itu menutup pintu dengan cukup keras.
"Iya, iya, aku akan datang. Ini aku mampir ke rumah untuk ganti baju." Kata perempuan itu sambil menaiki tangga.
Setelah masuk ke kamar tidurnya, perempuan itu membuka tali sepatunya dan melempar sepatunya ke tembok. Setelah menutup teleponnya, dia mulai melepas bajunya.
Tidak butuh waktu lama untuk perempuan tersebut melepas semua bajunya. Tentu saja, perempuan tersebut masih memakai pakaian dalamnya. Celana dalamnya menutup surga dunia sementara behanya menyimpan indahnya pegunungan.
Namun, perempuan tersebut ternyata mulai melepas pakaian dalamnya!
Randika yang masih duduk tidak berdaya di pojokan ruangan itu melihat perempuan tersebut telanjang bulat. Mungkin karena dirinya tertutup oleh kasur, sosoknya tidak dapat terlihat dengan mudah. Hanya kepalanya saja yang terlihat mencungul.
Sambil berkaca, perempuan tersebut memegangi kedua dadanya. Wajahnya terlihat tidak puas dengan besar payudaranya.
Randika melihat perempuan ini melepas dan memakai bajunya dengan tatapan kosong. Meskipun dia ingin menikmati pemandangannya, Randika masih berusaha berperang dengan kondisi tubuhnya. Meskipun dia sudah baikan, dia masih belum bisa menggerakan tubuhnya.
Setelah menghela napas dan memakai pakaian dalamnya yang baru, Kaori menyadari ada kepala di sisi tempat tidurnya dari balik kaca.
Ketika dia menoleh dan melihat sosok Randika, Kaori benar-benar terkejut. Kenapa ada orang di kamarnya? Berarti orang ini baru saja melihat dirinya telanjang?
Kurang ajar!
Kaori melakukan apa yang dilakukan oleh setiap perempuan. Dia membuka mulutnya dan berusaha menakuti Randika dengan teriakan kerasnya sambil meminta tolong. Tetapi, sebelum mulutnya sempat mengeluarkan suara, mulutnya tertutup sempurna.
Randika berhasil menutup mulut Kaori dengan rapat.
"Jangan berteriak, aku sama sekali tidak bermaksud jahat." Kata Randika sambil tubuhnya terus bergetar.
Mendengar kata-kata Randika ini, Kaori hanya bisa menjadi panik dan meronta-ronta.
Pada saat ini, keduanya menempel dan Randika bisa merasakan dada Kaori yang menempel pada dirinya.
Kaori yang terus meronta itu membuat Randika sedikit kewalahan, dia lalu berkata dengan suara pelan. "Aku hanya ingin beristirahat sebentar, aku tidak akan melukaimu. Jika kamu mengerti maksudku, mengangguklah."
Kaori mengangguk.
"Aku akan keluar setelah beristirahat sebentar, jadi jangan berteriak. Jika kamu mengerti maksudku, mengangguklah." Setelah berbicara, Randika merasa tenggorakannya menjadi serak dan kering.
Kaori mengangguk kembali dan dia merasakan tangan yang menutupi mulutnya perlahan lepas.
Awalnya Kaori sudah siap berlari, tetapi melihat Randika yang langsung berlutut dengan satu kakinya dan wajah yang pucat membuat Kaori menjadi cemas.