Chapter 271: Permainan yang Disiapkan oleh Shadow
Chapter 271: Permainan yang Disiapkan oleh Shadow
Sedangkan di rumah sakit, Randika berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas. Dia sudah menunggu berjam-jam hasil perawatan dokter di UGD dan masih tidak ada kabar.
Setelah hari mulai siang, seorang dokter keluar dari UGD dan Randika segera berlari ke arahnya. Dokter itu berkata pada Randika. "Anda sudah tidak perlu khawatir, luka di tubuh pasien sudah teratasi. Memang tidak ada masalah serius, tetapi pasien disarankan untuk menginap di rumah sakit beberapa minggu ini. Selama dia di rumah sakit, dia tidak diperbolehkan untuk bergerak terlalu banyak agar tulangnya yang retak itu bisa segera sembuh."
Mendengar nyawa Hannah yang tidak terancam, Randika menghela napas lega.
"Bolehkah aku masuk dan melihatnya?"
Setelah mendapatkan persetujuan dari dokter, Randika segera masuk dan mencari Hannah. Sesampainya di kasurnya, Hannah terbaring dengan wajah yang sangat pucat. Randika merasa hatinya sakit.
Memegang tangan kecil Hannah, dia mulai membuka matanya.
"Kak, apa aku akan mati?" Kata Hannah dengan suara yang kecil.
"Bodoh, selama ada kakakmu ini, aku tidak akan membiarkan kamu mati." Kata Randika sambil tersenyum. Dia lalu membelai pipi Hannah sambil meneteskan air mata. "Maafkan aku Han, aku gagal melindungimu."
Merasakan tetesan air mata itu, Hannah tersenyum. "Kakak ini bicara apa sih. Sudah jangan cengeng gitu, lagipula aku juga bisa bolos sekolah berkat hal ini."
"Kamu ini ya." Randika memaksakan diri untuk tersenyum. "Han, aku tadi dijelaskan oleh dokter bahwa kamu harus menginap beberapa minggu di rumah sakit. Selama itu kamu tidak boleh terlalu banyak bergerak."
Ketika membandingkan Hannah yang selalu ceria dan bersemangat dengan Hannah yang terbaring lemah di kasur ini membuat hati Randika benar-benar sakit.
"Kak aku rasa hidupku akan berakhir." Kata Hannah sambil tersenyum.
"Jangan berbicara seperti itu, aku tidak akan membiarkanmu kenapa-kenapa."
"Kak, apa kakak bisa menciumku? Aku takut jika aku mati hari ini, aku tidak bisa merasakannya lagi." Hannah menatap melas ke arah Randika.
Randika tidak tega melihat kondisi Hannah yang seperti ini, dia lalu maju dan memberikan ciuman lembut pada Hannah.
Pada saat ini, Hannah menikmati momen ini dengan menutup matanya. Dia selalu menyukai kakak iparnya ini tetapi dia tidak bisa mengutarakan perasaannya karena kakaknya Inggrid telah menikah dengan pria di hadapannya ini. Tetapi, sekarang pria ini adalah miliknya.
Setelah sekian lama, Randika melepas bibirnya dari bibir Hannah. "Istirahatlah dengan tenang. Aku akan mengabari kakakmu dan Ibu Ipah. Semoga saja dalam beberapa hari ke depan kamu boleh pulang ke rumah."
Hannah cuma tersenyum dan mengangguk.
Pada saat ini, HP milik Randika bunyi. Ternyata yang meneleponnya adalah Inggrid.
Randika mengangkatnya, dan ketika dia hendak berbicara, terdengar suara dari balik telepon. Ekspresi wajah Randika langsung berubah.
"Lama tidak berjumpa tuanku."
Yang terdengar adalah suara Shadow yang dingin.
Hati Randika langsung mengepal. Sudah tidak diragukan lagi, Inggrid sudah pasti diculik oleh Shadow.
"Sayang sekali seranganku pagi tadi tidak berhasil membunuhnya." Kata Shadow dengan suara kecewa, dia sepertinya menyesal tidak bisa membunuh Hannah. "Tetapi tidak masalah, karena aku berhasil menangkap orang yang lebih berharga. Seharusnya kamu tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi tuanku."
Tangan kanan Randika mengepal dengan keras, urat nadinya seakan-akan ingin meledak. Tenaga dalamnya sudah merembes keluar tanpa dia sadari, aura membunuhnya juga sama besarnya.
Dapat merasakan kekuatannya yang mulai tidak beraturan, Randika berusaha menahan amarahnya dan menarik napas dalam-dalam. Dia lalu berkata pada Shadow. "Lokasi?"
"Tuanku memang mengenal diriku." Shadow tersenyum di balik telepon. "Aku akan memberikan lokasinya nanti malam. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuh Inggrid sebelum dia berpamitan denganmu. Bukankah menyayat urat nadinya dan melihatnya perlahan mati di depan matamu lebih menarik daripada langsung membunuhnya?"
Randika tidak menjawab, dia sekarang sedang berfokus menahan amarahnya. Jika Shadow sekarang ada di hadapannya, kepalanya sudah melayang jauh ke langit.
"Jangan membuatmu terselimuti oleh emosi, kalau tidak emosimu itu akan membunuhmu malam ini." Shadow tertawa keras. Dia dapat membayangkan wajah Randika yang sedang menahan amarahnya. Semakin menderitanya Ares, semakin bahagia Shadow.
Jika aku tidak bisa berkuasa di dunia bawah tanah maka aku akan membunuh orang yang kau cintai, terdengar adil bukan?
"Hari ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir." Kata-kata Shadow terdengar dingin. Setelah itu Shadow menutup teleponnya.
Hannah menatap Randika yang tubuhnya gemetar itu lalu bertanya. "Kak, apa orang yang meneleponmu itu orang yang melukaiku?"
Menoleh ke arah Hannah, Randika memaksa dirinya untuk tersenyum. "Hahaha bukan, sudah kamu istirahat dengan tenang saja. Aku akan menelepon Ibu Ipah untuk menemanimu di sini. Nanti jangan rewel sama makanan rumah sakit ya, kalau tidak kamu tidak sembuh-sembuh."
Hannah tersenyum. "Kak, kakak tidak perlu khawatir. Ketika aku sudah sembuh, kamu harus menemaniku belanja sekali lagi. Dan mungkin kamu bisa membantuku memakai pakaianku."
Memikirkan kata-kata Hannah tersebut, Randika tidak bisa untuk tidak tersenyum.
Kemudian Randika keluar dari ruangan UGD dan langsung menelepon Ibu Ipah. Setelah mendengar kabarnya, Ibu Ipah langsung bergegas ke rumah sakit.
Ibu Ipah sudah menganggap Hannah dan Inggrid seperti anak sendiri, sekarang ketika mendengar Hannah terbaring di rumah sakit, insting ibunya langsung membara.
Ketika Ibu Ipah tiba di rumah sakit dan melihat Hannah yang terbaring lemah di kasur, hati Ibu Ipah terasa sakit. Dengan sigap dia mengatur segalanya agar Hannah bisa tidur dengan tenang.
Setelah semuanya selesai, Ibu Ipah berbisik pada Randika. "Nak, Ibu malam ini akan menginap di rumah sakit. Jadi tolong awasi rumah dengan nona muda ya."
Randika tersenyum dan mengangguk. Dia sama sekali tidak memberitahu masalah Inggrid pada Ibu Ipah. Kalau tidak, bisa-bisa Ibu Ipah kelabakan.
Namun, apa pun caranya, Randika harus membawa Inggrid pulang ke rumah dengan selamat!
Benar, hari ini adalah malam penentuannya dengan Shadow.
Entah Shadow yang mati atau dirinya yang mati!
Keluar dari rumah sakit, Randika melihat jam. Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore, sepertinya masih ada beberapa jam lagi hingga Shadow meneleponnya kembali. Saat-saat seperti ini bagaikan penyiksaan untuk Randika.
Seiring berjalannya waktu, waktu sudah menunjukan jam 9 malam, Randika masih melototi HP miliknya. Dan tiba-tiba, HPnya berbunyi.
"Tuan, bagaimana perasaanmu menunggu begitu lama?" Suara Shadow bisa terdengar jelas dari balik telepon. Shadow sangat senang membuat Randika marah, semakin marah maka semakin besar perasaan senangnya.
Randika menjawabnya. "Di mana lokasinya?"
"Jangan terburu-buru, kita punya waktu seharian." Kata Shadow sambil tertawa.
Randika mengerutkan dahinya, dia tidak tahu siasat apa yang akan dipakai oleh Shadow. Sudah bukan rahasia lagi Shadow ingin membunuhnya, tetapi cara apa yang dipakainya itu merupakan suatu masalah.
"Cepat katakan di mana."
Mendengar kata-kata itu, Shadow tersenyum. "Sepertinya kita sudah lama tidak bermain game bersama-sama. Reuni kita kali ini merupakan waktu yang tepat untuk bermain dan menebus waktu kita yang telah hilang. Oh, jangan lupa, kalau kamu gagal maka aku akan membunuhmu dan aku juga akan membunuh Inggrid."
Randika tidak membalas sama sekali, apa pun trik yang akan dipakai oleh Shadow, Randika tidak punya pilihan selain menurutinya.
"Baiklah." Kata Randika.
Shadow membalas. "Permainan kita cukup sederhana. Tetapi pertama-tama, kamu harus menemukan keberadaanku dulu. Waktumu hanya sepuluh menit. Jika kamu telat satu detik saja, maka aku akan memotong anggota tubuh Inggrid dan kamu akan mendengarnya menjerit kesakitan. Bagaimana menurutmu? Permainan kita seru bukan? Hahaha."